Qiyamul Lail di Bulan Ramadhan

Suatu ketika Malaikat Jibril turun ke bumi menjumpai Baginda Rasulullah SAW. Kemudian ia berkata, “Ya Muhammad, hiduplah semaumu karena engkau akan mati; sayangilah kekasihmu karena engkau akan meninggalkannya; beramallah sesukamu karena engkau akan menerima balasannya. Ketahuilah bahwa mulianya orang mukmin disebabkan qiyamulail-nya dan mulianya orang mukmin itu tidak bergantung kepada manusia.”
Ibadah pada malam-malam Ramadan tidak seperti ibadah pada malam lainnya karena pada malam Ramadan kadar bobot pahalanya lebih tinggi. Setiap bulan Ramadan Rasulullah SAW menghidupkan malam-malamnya dengan membaca Al-Qur’an. Saking istikamahnya Malaikat Jibril tertarik ikut bersama Rasulullah membaca Al-Qur’an. Dalam riwayat lain Imam Bukhari mengatakan, hal itu dilakukan Rasulullah SAW setiap malam.
Demikian juga para ulama salafus salih. Di malam-malam Ramadan mereka membaca, mengkaji dan memahami Al-Qur’an. Intensitas waktu yang digunakan jauh lebih ketat dibandingkan malam-malam biasa. Tak heran jika di antara mereka bisa menghatamkan Al-Qur’an dalam sebulan, setiap sepuluh hari, setiap minggu, atau tiga hari sekali.
Ibadah pada malam Ramadan mempunyai kekhususan tersendiri dibandingkan dengan beribadah pada malam-malam lainnya? Disebutkan dalam sebuah hadits yang tidak asing bagi kita yaitu hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari yang berbunyi, “Man qaama Ramadana imaanan wa-ihtitsaban ghufira lahu ma taqaddama min zambihi.”
Yang dimaksud kata “imaanan wa ihtitsaban” ialah menghidupkan malam-malam Ramadan dengan beribadah, dan mendekatkan diri semata-mata karena Allah SWT. Ibadah pada malam Ramadan tidak hanya membaca Al-Qur’an, tetapi masih banyak lagi ibadah lainnya. Seperti shalat tarawih, shalat witir, dan berdzikir serta memperbanyak membaca shalawat.
Diceritakan bahwa Rasulullah SAW beserta sahabatnya melakukan shalat tarawih hanya beberapa malam saja kemudian beliau meninggalkannya. Mengapa Rasulullah SAW tidak melakukannya lagi? Karena Rasulullah SAW khawatir umatnya menganggap bahwa sholat tarawih itu hukumnya wajib
.
Setelah Rasulullah SAW wafat tidak lama kemudian sahabat Umar bin Khattab menginisiasi syiarnya bulan Ramadan dengan shalat tarawih. Maka diperintahlah sahabat Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Dary untuk mengimami umat Islam melakukan shalat tarawih saat itu. Dari situlah shalat tarawih berjama’ah berlaku turun-temurun hingga sekarang.
Ruh Ibadah
Melakukan ibadah pada malam-malam Ramadan merupakan ruh dari puasa. Lantas, ruh dari ibadah itu apa? Ruh ibadah yaitu melakukan ibadah dengan khusyu’, tawadhu’ dan merendahkan diri kepada Allah SWT. Misalnya dalam shalat, memperhatikan tumakninahnya, memperhatikan rukun fi’li
dan qaulinya, tidak tergesa-gesa dalam membaca Al-Qur’an dan lain sebagainya. Dalam membaca Al-Qur’an juga demikian, memperhatikan makharijul hurufnya, panjang dan pendeknya bacaan, adab dalam membaca Al-Qur’an dan lain sebagainya.
Menurut hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ia mengatakan, Ketika Rasulullah SAW melakukan shalat beliau sangat memperhatikan kandungan makna dari bacaan Al-Quran. Jika yang dibacanya ayat yang berkaitan dengan rahmat, beliau berhenti dan berdoa memohon rahmat; jika
sampai bacaan yang berisi suatu ancaman atau hal yang menakutkan, maka beliau berhenti dan memohon penjagaan dari Allah SWT.
Pada zaman sekarang berbeda jauh dengan zaman Rasulullah SAW. Sekarang ini banyak orang yang mengimami shalat tarawih dengan cepat sehingga tidak sempat memperhatikan tuma’ninah dalam sujud dan ruku’nya. Padahal tuma’ninah merupakan syarat rukun dari shalat.
Memendekkan bacaan dengan khusyu’ dalam ruku’ dan sujud itu lebih baik daripada memanjangkan bacaan dengan tergesa-gesa. Begitu juga membaca Al-Qur’an dengan tartil itu lebih baik daripada membaca Al-Qur’an dengan cepat. Mengapa hal itu tidak diperbolehkan? Karena inti dari khusyu’ dan hudhurnya hati kepada Allah ketika shalat merupakan tujuan utamanya. Dan hal itu tidak bisa ditemukan manakala shalat dilakukan dengan tergesa-gesa.
Dengan momentum Ramadan dengan shalat tarawih setiap malam, baik yang belasan maupun likuran rakaat, semoga ibadah shalat kita kian hari kian baik, kian khusuk dan akan membekas pada diri kita masing-masing. Yakni, ibadah Ramadan akan menjadi picu bagi peningkatan kualitas ibadah kita di sebelas bulan yang lainnya. Wallahu A’lam. (*)